Roda
yang Rusak
Tetes demi tetes air
mata tanpa kusadari telah membasahi pipiku. Rasa kesedihan yang mendalam ini
membuatku berpikir apakah ini akhir dari segalanya. Dua lentera yang berharga
dalam hidupku telah redup dan kemudian menghilang dalam kegelapan yang tidak
dapat kuraih. Kulihat duah buah batu nisan menancap di atas tanah yang penuh
dengan bunga. Perlahan orang orang mulai meninggalkan tempat ini. Sunyi, hanya
sunyi yang tersisa dan menemaniku dalam kesedihan. kurasakan tangan hangat
menyentuh pundakku, “Lina, aku turut berduka cita atas kepergian kedua oran
tuamu,” kemudian aku memeluknya dengan erat sambil berkata “Terima kasih, Mia.”
Dalam kesedihan ini hatiku memberontak,” Apakah roda ini akan terus berputar?”
***
Dua hari yang lalu
Masih terasa pusing
kepalaku akibat minuman keras yang aku minum terlalu banyak tadi malam. Aku
terbangun dari tidurku akibat suara alarm yang berbunyi di atas meja bundar
yang berada disamping tempat tidurku. Aku raih alarm tersebut dan kumatikan
sambil mata masih terpejam, tiba tiba terdengar suara Bi Endang berteriak
sambil menggedor pintu kamarku dengan kencang.
“Non, sudah jam enam lewat seperempat , kemarin Non
bilang hari ini ada ulangan.”
Secara otomatis mataku terbuka lebar
“Sialan! aku lupa!” seruku sambil mencoba berlari
kea rah kamar mandi.
Kucoba secepat mungkin
mengguyurkan air keseluruh tubuhku. Tanpa mempedulikan rasa dingin air di pagi
hari aku terus mempercepat mandiku. Di kamarku Bi Endang membereskan tempat tidurku
dan mencium bau alkohol.
“Non Lina mabuk lagi ya semalam?” tanyanya sambil
mencoba menutup hidung karena bau alcohol yang sangat menyengat
“Ah nggak usah di bahas deh Bi !” bentakku sambil
menendang pintu kamar mandi
“Ya mbok tobat Non, biar Non nggak jadi seperti…”
Kupotong omongan Bi Endang sambil kubuka pintu kamar
mandi dengan keras.
“Nggak usah ikut campur deh, Bibi Cuma pembantu
disni!”
Dengan ekspresi muka yang ketakutan kemudian Bi
Endang keluar kamarku sambil membawa beberapa pakaian kotorku.
“Jadi pembantu kok nggak tahu diri!” tambahku dengan
nada emosi.
Aku buka lemari
pakaianku dan dengan cepat memilih baju yang akan aku kenakan. Tidak lupa juga
aku menggunakan beberapa make up agar wajahku terlihat lebih segar. Beberapa
menit kemudian aku telah selesai berganti pakaian dan bergegas menuju mobil
sedanku yang berwarna merah.
Aku melihat ke arah
kaca mobil untuk merapihkan pakaianku. Seperti biasa aku memakai kemeja dengan
warna yang netral sambil mengenakan rok mini dengan warna merah bermotif kotak
kotak yang aku suka, tak lupa rambut panjangku aku ikat dengan tali berwarna
hitam seperti ekor kuda.
Saat hendak memasuki
mobil terdengar suara hanphone yang berada di tasku berbunyi dengan sangat
keras. Kulihat di layar ternyata Mia yang menelepon, kemudian aku anggkat
telepon tersebut.
“Lin, kamu diamana? Aku udah nunggu kamu dari tadi
nih, katanya mau berangkat bareng.” Kata Mia dengan nada bingung.
“Aduh maaf, aku tadi bangun kesiangan.”
“Pasti mabuk lagi ya semalam?” sahutnya
“Aduh, kamu ini, nggak usah di bahas deh. ” jawabku
dengan nada agak marah tapi sedikit bercanda.
“Iya iya, terus jadi jemput nggak nih” tambahnya
dengan tertawa
“Udah mau berangkat ini, ya udah aku meluncur kesana
sekarang.” Jawabku sambil kumatikan telepon.
Kubuka pintu mobil dan
kunyalakan mesin, ku injakpedal gas dan rem secara bergantian untuk memastikan
semuanya aman. Setelah itu Bi Endang membuka gerbang dengan raut wajah
ketakutan yang masih terlihat akibat kejadian di kamarku tadi.
“Hati hati ya Non” katanya sambil mencoba tersenyum
padaku. Tetapi aku hanya meliriknya dengan tatapan yang dingin karena aku masih
merasa jengkel dengan dia.
Mobilku melaju menuju
rumah kost Mia yang tidak jauh dari rumahku. Sekitar lima menit kemudian aku
sampai di depan kostnya dan aku melihatnya menunggu dengan dengan muka cemas.
Aku buka pintu mobilku dan memanggilnya.
“Ayo cepat masuk” kataku sambil melambaikan tangan
ke arahnya
“Akhirnya datang juga kamu”
Dengan sedikit berlari dia
menuju kea rah mobilku dan kemudian membuka pintu. Setelah itu kunyalakan mesin
dan pergi menuju kampus. Di perjalanan aku melihat Mia seperti biasa
menggunakan baju yang rapi. Kemeja lengan panjang berwarna biru dan menggunakan
rok sepanjang lutut, rambutnya pun dibiarkan terurai sebahu dengan kaca mata
berwarna transparan yang selalu dia pakai.Dia terlihat sangat polos.
Mia menyalakan radio di
mobilku dan mencari lagu yang bernada akustik sehingga suasana pagi ini menjadi
bersemangat. Terdengar suara lagu Agnes Monika dan Mia mulai menirukan lirik
lagunya.
“Ayo Lina Monika nyanyi juga dong” seru Mia sambil
mencoba menggodaku
“Aduh, jangan panggil aku dengan sebutan itu dong.”
Jawabku sambil sedikit ngambek
Banyak orang berkata kalau aku mirip dengan Agnes
Monika secara fisik. Hanya saja aku mempunyai mata yang sedikit lebar dan bibir
yang agak tipis dibandingkan dengannya.
“Udah jangan bercanda, lima belas menit lagi udah
masuk nih” kataku
“Oh iya lupa kalo kita berangkat telat” jawabnya
sambil bercanda
Aku mengendarai mobilku dengan cukup kencang
karena takut telat berada di kampus. Saat mobilku berhenti di lampu merah.
Sambil menunggu lampu hijau aku menoleh kea rah kanan dan melihat seorang
tukang becak mengendarai becaknya dengan sedikit melamun. Kemudian tanpa sadar
dia melewati lubang di jalan dan kemudian dia jatuh karena roda depannya rusak,
tetapi dia tersenyum karena dia berhasil menghindari seseorang yang menyebrang.
Kalau saja roda itu tidak rusak pasti tukang becak tersebut akan menabrak
pejalan kaki tersebut. Kemudian aku berpikir bahwa tak selamanya hal yang rusak
itu tidak berakibat baik.
Aku tersadar dari
lamunanku karena mobil di belakangku membunyikan klakson karena lampu telah
menunjukkan warna hijau. Aku bergegas menginjak pedal gas dan tak lama kemudia
aku dan Mia memasuki gerbang kampus yang berukuran lumayan besar dan membayar
ongkos parkir kepada penjaga pintu masuk kampus.
Didalam kampus beberapa
jalan masih dalam perbaikan, masih banyak batu yang berserakan di samping jalan
yang aku lewati. Hanya ada satu jalan utama yang masih mulus dan dilewati oleh
beberapa kendaraan, hal ini membuat arus lalu lintas di dalam kampus menjadi
sangat macet. Beberapa mahasiswa terlihat terburu buru mengendarai kendaraan
mereka karena menurutku mereka juga telat di pagi ini. Sambil tetap fokus aku
berkata “Aduh, jalan yang disebelah aja masih belum selesai dibangun malah
ngebangun jalan lagi.”
“Lha iya itu, seharusnya selesaikan satu jalan dulu
baru jalan yang lain” kata Mia sambil menoleh kearah kiri.
Setelah beberapa menit
kami pun sampai di depan fakultas dan memarkir mobil. Papan nama fakultas
menyilaukan mata karena terkena pantulan sinar matahari. Kami berdua berlari
menuju pintu depan fakultas dengan perasaan yang tidak karuan karena kami telat
beberapa menit dan yang paling membuatku panic adalah bagimana seandainya kita
berdua tidak di izinkan masuk kelas.
“Ayo cepat Mi!” teriaku kepada Mia sambil berlari.
“Iya iya, ini udah cepat”
Setelah sampai didepan
kelas aku lihat beberapa temanku masih berada diluar dengan wajah yang santai. Ada
yang masih merokok padahal ada tulisan dilarang merokok didepan ruangan
tersebut dan ada juga yang menyalakan laptop sambil menonton musik Korea.
Sambil mengatur nafas aku menghampiri salah satu dari mereka.
“Kok nggak masuk kelas?” kataku dengan nada kebingungan
“Dosenya nggak masuk, katanya ada urusan” kata salah
satu dari mereka.
“Ah, yang bener aja, masa nggak ada pemberitahuan
kalo dosenya nggak masuk” tambahku.
“Nggak tau tuh, mending dari pada ulangan” jawabnya
sambil membetulkan tali sepatunya yang lepas.
“Ya udah , makasih ya”
“OK sama sama”
Aku duduk di kursi
panjang yang berada di sebelah kanan pintu kelas. Terlihat Mia masih mengatur
nafas karena lelah sehabis berlari menaiki tangga. Aku aja dia duduk disebelah
kiriku untuk melepas lelah. Mia membuka tasnya dan mengeluarkan sebotol air
mineral yang terlihat sanggat menggoda untuk dihabiskan. Dia meminum air
tersebut dengan sangat hingga tersisa setengah botol saja.
“Eh aku minta dong, haus bener ini kayak habis lari
marathon” kataku.
“Oh bisa haus juga toh kamu” jawabnya sambil
tertawa.
“Bercanda aja kamu ini”
Rasa air tersebut
sangat segar bagiku, aku habisakan hingga tak tersisa. Mia melihatku sambil
tertawa karena dia merasa kalau aku terlihat seperti sudah lama tidak minum.
Setelah itu aku keluarkan sebungkus rokok dari tasku dan aku nyalakan demi
mengusir rasa penat. Terdengar suara nada pesan dari ponselku dan kulihat
ternyata ada beberapa pesan yang masuk tanpa kusadari.
“Aduh, ini sms apa ngirim surat kok banyak amat”
“Dari siapa emangnya?” tanya Mia
“Biasa, siapa lagi”
“Pasti kedua orang tuamu kan”
Tak aku jawab
pertanyaan dari Mia karena aku sangat malas membahas tentang kedua orang tuaku.Aku
lihat Mia sudah paham dengan hal ini karena di tahu kalau hubunganku dengan
kedua orang tuaku tidak harmonis. Dalam isi pesan tersebut seperti biasa mereka
bertanya apakah aku mabuk kemarin malam. Aku tidak menghiraukan isi pesan
tersebut dan kemudian mengajak Mia untuk berdiri dan meninggalkan ruangan
tersebut karena rokoku telah selesai aku hisap.
Kedua orang tuaku
bekerja sebagai pemilik sebuah tempat hiburan malam yang lumayan terkenal.
Kehidupan mereka identik dengan yang namanya minuman keras. Mereka berangkat
bekerja saat aku tidur dan pulang saat aku akan berangkat kuliah. Aku sangat jarang
bertemu dengan mereka. Yang selalu aku harapkan dari mereka adalah kasih sayang
yang sesungguhnya, bukan kasih sayang melalui gelimpangan harta yang selalu
mereka berikan padaku. Mereka yang membentuk hidupku menjadi seperti ini.
***
Hari ini adalah hari
ulang tahunku yang ke dua puluh tahun,saat aku berada di kampus aku mendapatkan
kejutan dari beberapa temanku khususnya dari Mia. Dia memberikan kado yang
berisi gantungan kunci yang sangat lucu berbentuk beruang dengan sayap putih
yang mengepak lebar. Aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan dia membalas
dengan senyuman. Setelah itu dia dan beberapa teman temanku mengguyur tubuhku dengan air dan melemparkan
tepung ke arah tubuhku.
Dalam kebahagiaan ini
hatiku bersedih, apakah yang akan orangtuaku lakukan saat ulang tahunku. Apakah
akan sama seperti tahun tahun sebelumnya dimana mereka hanya memberikan
beberapa barang yang mahal sebagai hadiah dengan ucapan selamat melalui secarik
kertas yang mereka tinggalkan di kamarku sewaktu aku terbangun dari tidurku. Mereka
tidak pernah mengucapkannya secara langsung.
Ponselku berbunyi dan merasa terkejut serta
senang karena tiba tiba saja kedua orangtuaku mengirim pesan yang berisi ucapan
selamat ulang tahun dan mereka telah memperisapkan pesta di hari ulang tahunku
hari ini. “Apakah ini mimpi?” tanyaku dalam hati saat membaca isi pesan
tersebut.
“Kamu kenapa Lin, kok kelihatannya serius banget
baca SMSnya?” tanya Mia dengan nada kebingungan.
“Ayo ikut aku, ada pesta dirumahku” jawabku
“Wah beneran ini Lin?
“Iya, orangtuaku menyiapkannya untukku.”
Saat Mia ingin bertanya
lagi langsung saja aku gandeng tangan dia menuju mobil. Diperjalanan menuju
rumah aku hanya terdiam dengan senyum diwajahku dengan tubuh masih penuh dengan
tepung yang teman temanku tadi siramkan ke tubuhku yang membuat Mia tertawa
saat melihatku. Saat tiba di rumah kami berdua langsung membuka pintu tetapi
kedua orangtuaku belum berada di rumah.
“Bi Endang Papa sama Mama kemana?” teriaku
“Oh tadi mereka masih mengambil kue ualng tahunnya Non”
“Kok tumben ya mereka kayak begini?”
“Tadi pagi Bibi tidak sengaja mendengar Papa sama
Mama Non ngobrol serius di ruang tamu”
Terus mereka bilang apa?”
“Kayaknya mereka ngomongin tentang Non, tetapi Bibi
nggak dengar secara jelas”
“Oh ya udah kalau gitu”
Setelah itu Bi Endang
pergi melanjutkan perkerjaannya. Aku menyuruh Mia duduk kemudian aku menuju
kamr mandi untuk membersihkan tubuhku dan berganti pakaian. Beberapa menit
kemudian aku kembali ke ruang tamu dan melihat mereka masih belum datang.
Selama hampir satu jam
aku menunggu kedatangan mereka tetapi mereka tidak kunjung datang. Tiba tiba
telepon rumah yang berada di ruang tengah berbunyi. Bi Endang mengangkat
telepon tersebut dan kemudia berteriak kencang. Aku dan Mia langsng saja
menghampiri Bi Endang dan berkata “Kenapa Bi kok teriak teriak?
Dengan wajah pucat Bi Endang menjawab “Orangtua Non
kecelakaan”
Bagai tersambar petir
di siang hari aku langsung terdiam dan kemudian aku pingsan. Beberapa saat
setelah itu aku terbangun dengan di kelilingi oleh Mia dan Bi Endang dengan
wajah sedih. Kemudian kami menuju ke rumah sakit dimana mereka di rawat. Aku
menyuruh Mia yang menyetir karena aku tidak kat menyetir sendiri dalam keadaan
seperti ini. Di perjalanan aku memeluk Bi Endang sambil menangis tanpa henti.
Hatiku menjerit “Kenapa harus seperti ini”
Kami pun sampai di
rumah sakit tersebut dan kemudian Mia bertanya ke arah receptionist untuk
bertanya tempat kedua orangtuaku di rawat. Segera kami menuju ke ruangan
tersebut sambil berlari. Sebelum sempat membuka pintu ruangan tersebut tiba
tiba pintunya dibuka oleh seorang dokter. Aku dokter tersebut hanya terdiam dan
aku melihat ke arah dalam ruangan. Hampir saja aku berteriak jika Mia tidak
memelukku, aku lihat tubuh kedua orangtuaku tertutupi kain putih.
“Maaf kami sudah mencoba sebaik mungkin” kata dokter
tersebut dengan nada perihatin.
Tanpa menghiraukan
dokter tersebut aku langsung saja masuk kedalam ruangan tersebut dan kemudian
memandangi kedua orangtuaku. Aku membuka kain yang menutupi mereka sambil
tetesan air mataku keluar membasahi pipi dan leherku. Tangan mereka berdua aku
pegang sambil menangis. Mia dan Bi Endang tak kuasa menanhan air mata dan
mengangis di samping pintu.
Tetes demi tetes air
mata tanpa kusadari telah membasahi pipiku. Rasa kesedihan yang mendalam ini
membuatku berpikir apakah ini akhir dari segalanya. Dua lentera yang berharga
dalam hidupku telah redup dan kemudian menghilang dalam kegelapan yang tidak
dapat kuraih. Kulihat duah buah batu nisan menancap di atas tanah yang penuh
dengan bunga. Perlahan orang orang mulai meninggalkan tempat ini. Sunyi, hanya
sunyi yang tersisa dan menemaniku dalam kesedihan. kurasakan tangan hangat
menyentuh pundakku, “Lina, aku turut berduka cita atas kepergian kedua oran
tuamu,” kemudian aku memeluknya dengan erat sambil berkata “Terima kasih, Mia.”
Dalam kesedihan ini hatiku memberontak,” Apakah roda ini akan terus berputar?”
Setelah beberapa lama
berada di pemakaman aku kembali menuju ke rumah dengan perasaan yang masih
penuh dengan kesedihan. Mia emyuruhku agar dia saja menyetir mobilku tetapi aku
menolak. Di perjalanan menuju rumah aku hanya terdiam di dalam mobil sambil
menyetir dengan pelan. Tiba tiba saja tanpa kusadari ada sebuah bus dan
kemudian mobilku terbalik.
Kepalaku berdarah dan
dengan samar samar aku lihat Mia masih berada di dalam mobil dalam keadaan
tidak sadar. Aku mencoba memegan tangannya tetapi kemudian aku merasa kepalaku
sakit dan kemudian tidak sadarkan diri.
***
Aku terbangun di sebuah
rumah sakit dengan Bi Endang duduk disampingku. Bi Endang kemudian memanggil
dokter saat aku terbangun. Aku mencari dimana Mia karena dia tidak ada di dalam
ruangan ini. Saat dokter datang aku bertanya “Mia dimana dok?”
“Temanmu di rawat di ruangan gawat darurat karena
kondisinya kritis.”
Aku mencoba bangun dari
tempat tidurku untuk menghampiri Mia tetapi dokter melarangku karena kondisiku
masih belum pulih sepenuhnya. Aku memncoba memberontak tetapi tidak berhasil
karena tubuhku terasa sangat lemah. Dokter kemudian menyuntikku dan aku merasa
sangat mengantuk dan kemudian tertidur.
Keesokan harinya kondisiku membaik dan aku
mencari ruangan dimana Mia di rawat. Dokter itu pun mengantarku kedalam ruangan
tersebut dan kemudian aku melihat Mia masih dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Dokter menjelaskan kepadaku kalau keadaanya semakin memburuk karena ginjalnya
mengalami pendarahan. “Apakah tidak ada pendonor Dok?” tanyaku saat masih
memandang Mia.
“Sangat sulit untuk mendapatkan donor saat ini”
Aku terdiam sesaat
kemudian kembali ke kamarku. Aku berfikir bahwa hidupku tidak berguna karena
kehilangan segalanya. Satu satunya yang berharga adalah sahabatku, Mia. Aku
tersenyum kepada Bi Endang yang ada di dalam kamarku kemudian aku berdiri
keluar kamar.
Dokter yang berada di
ruangan gawat darurat tersebut aku hampiri dan beratanya apakah aku bisa
mendonorkan ginjalku untuk sahabatku itu, tetapi dokter menolak karena alas an
tertentu. Aku terus meyakinkan dokter tersebut dan kemudia di memeriksa apakah
ginjalku dapat didonorkan. Setelah yakin bahwa aku bisa mendonorkannya, dokter
bertanya padaku apakah aku yakin dengan keputusan ini. “Hanya ini yang bisa aku
lakukan kepadanya” jawabku dengan hati yang mantap.
Satu hari kemudian aku
dan Mia melakukan operasi pendonoran ginjal tersebut. Aku lihat Mia masih
menutup matanya. Para dokter kemudian menyuntikku dengan obat bius sehingga aku
tertidur. Operasi tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama.
Dan pada akhirnya
operasi pun berjalan dengan lancar dan dokter berhasil mendonorkan ginjalku
kepada Mia. Tiba tiba saja salah satu alat pacu jantung yang berada di ruang
operasi tersebut berbunyi dengan keras dan menunjukkan gambar garis lurus saja.
Dokter pun mulai panik dengan keadaan ini. Dalam kepanikan tersebut aku lihat
Mia menoleh kepadaku dalam keadaan menangis. Aku hanya terdiam dan tersenyum.
Mayan Mir.
BalasHapusPlot nya gak model flash back tapi diruntutin aja sih kalo menurutku, biar bisa nambah banyak detail buat karakternya.
Betewe Lina mabok minum apa kok gak hangover? Sakti :D
ahahahha belom berani meng-explore lebih dalam karakternya aku ini.
BalasHapus