Kafetaria Punya Cerita: Nemesis Part II: Dark Mind


Secercah cahaya mengintip dari balik kelambu jendela berwarna putih yang berada disamping kiri kamarku. Rasanya enggan sekali untuk bangun dari selimut yang memberi kehangatan semalam penuh ini. Aku mencari ponselku yang berada di atas di meja yang berbentuk kotak dan melihat apakah ada pesan yang masuk. Ada beberapa pesan tetapi  balasan atas pesan yang aku kirim kepada seseorang pada kemarin malam masih belum juga ada balasannya. Kemudian aku memutuskan untuk menuju ke kamar mandi untuk menyegarkarkan diri dan menghilangkan rasa ngantuk yang ada.

Setelah beberapa menit kemudian aku berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat ke kampusku. Hari ini aku memakai kaos hitam dan juga rok sepanjang lutut bercorak kotak kotak berwarna merah sambil menggunakan sepatu flat berwarna hitam. Aku mengikat rambutku yang berwarna hitam kemerahan kebelakang agar terlihat rapi. Saat menuju ke depan kostku untuk menyalakan motor matik yang berwarna biru, aku memutuskan untuk mengambil jaketku yang berwarna hitam karena cuaca sedang gerimis. Jarak dari kost dan kampusku cukup dekat kira kira hanya butuh waktu sekitar sepulu menit menggunakan sepeda motor.

Padat dan saling berhimpitan, itulah keadaan jalan raya yang aku lewati saat menuju ke kampusku. Hal ini dikarenakan penerapan jalur dua arah yang kembali diterapkan oleh pemerintah. Bagaikan seekor ular aku mencari celah kosong diantara mobil saat aku mengendarai motorku. Beberapa saat kemudian aku telah sampai di tempat parkir fakultasku. Tulisan “Fakultas Ilmu Budaya” sungguh menyilaukan mata saat memantulkan cahaya sang surya pagi ini.

Aku memarkirkan sepeda motorku dan kemudian menuju ke kafetaria yang berada di depan fakultasku. Di depan kafetaria tersebut terdapat tempat duduk berjajar dengan rapid an dipenuhi oleh beberapa mahasiswa yang sedang asik bercengkrama satu sama lain. Aku kemudian masuk ke dalam kafetaria yang tidak kalah penuh sesak dengan mahasiswa dan juga dosen. Aku menuju ke salah satu stand yang menjual minuman.

“Mau pesen apa mbak?” tanya seorang ibu yang berada di tempat tersebut.
“Cappucino satu bu” jawabku sambil mengambil dompet yang berwarna hitam di dalam tasku
“Panas? Dingin?” lanjut ibu terebut
“Panas aja bu” jawabku
“Cappucino panas satu minum sini!” seru ibu tersebut kepada orang yang disebelahnya
“Sama rokok itu satu deh bu”
“Yang ini mbak?”
“Yang sebelahnya bu”
“Semuanya jadi lima belas ribu”

Aku menyerahkan beberapa lembar uang kepada ibu tersebut dan kemudian mengambil pesananku. Sambil membawa satu cangkir cappuccino panas aku mencari tempat tempat yang kosong untuk duduk. Ada tempat kosong yang berada di sebelah ujung, aku kemudian duduk dan menyalakan laptopku.  Saat sedang menikmati segelas cappuccino dan bermain laptop tiba tiba handphone yang  berada di samping kiriku berbunyi. Pesan yang aku kirim akhirnya dibalas.

“Semuanya sudah siap, tinggal kita lakukan saja rencananya”

Itulah isi pesan yang aku terima dari orang tersebut. Saat akan membalas pesan tersebut tiba tiba aku dikagetkan oleh orang yang menyentuh pundakku dari belakang. Aku menoleh kebelakang dan ternyata orang tersebut adalah Dani. Dia adalah orang yang pernah menjadi pacarku satu tahun lalu, meskipun sudah berpisah kita masih sering mengobrol dan bertemu di tempat ini secara tidak sengaja.

“Eh Vika, boleh minta tolong gak” tanya Dani kepadaku sambil masih berdiri disampingku
“Apaan emang?” jawabku
“Boleh pinjem Flash disk gak? Buat ngeprint tugasnya Pak Lalu ini.”
“Oalah iya bentar, tapi bentar lagi kembaliin ya, aku mau ngerjain tugas, soalnya datanya masih ada di Flash disk itu” jawabku sambil membuka tas
“Tenang, Cuma bentar aja kok” jawab Dani
Saat dia akan pergi aku kemudia memanggilnya dengan suara yang cukup keras. Dia kemudian berhenti dan menghampiriku.
“Ada apa Vik?” tanya dia
“Pinjem korek dong, punyaku abis nih” jawabku
“Tak kira apaan, nih.” sahut dia sambil mengambil korek yang ada di jaketnya yang berwarna biru gelap.
“Hahaha makasih ya” jawabku

Dia pun kemudian pergi ke tempat print yang berada di samping kafetaria ini. Di tempat tersebut terlihat antrian yang berjajar rapi dengan ekspresi yang tak sabar menanti gilirannya. Dani pun terlihat menggerak gerak kan kakinya saat mengantri. Pada saat yang bersamaan aku pun menyalakan rokok yang kedua sambil melihat ke arah antrian tersebut. Kuhisap dalam dalam hingga masuk ke paru paruku. Kemudian aku melihat seorang temanku yang bernama Sintia, dia berjalan dengan sedikit tergesa gesa saat menuju kepadaku.

                “Aduh maaf Vik, aku bangun kesiangan. Tugasnya terakhir di kumpul jam berapa?” tanya Sintia kepadaku dengan nafas yang masih terengah engah.
                “Tenang aja masih dua jam lagi kok” jawabku
                “Haaahhh, aku kira udah telat. Nih tugasnya.” Tambahnya sambil menyerahkan tugas dan bungkusan kecil berwarna biru.

                Setelah itu dia pergi menuju ke lantai lima fakultasku untuk berkonsultas masalah skripsi yang sedang dia kerjakan.  Tak lama setelah itu Dani menghampiriku untuk menyerahkan flash disk yang dia pinjam tadi. Kemudian aku menghabiskan cappuccino dan juga rokok yang ada di depanku sambil mematikan laptop. Jam tanganku menujukkan pukul sembilan dan akhirnya aku memutuskan untuk menuju ke ruang dosen untuk menyerahkan tugas.

                Di dalam fakultasku dipenuhi oleh mahasiswa yang sedang duduk lesehan di dekat lift yang berada di sebelah kananku. Saat memasuki lift aku berpapasan dengan seseorang yang bertubuh cukup besar dan mempunyai rambut pendek. Orang tersebut bernama Anton, dia menyeringai dengan sinis kepadaku saat kami memasuki lift. Aku sangat membenci dia karena dia selalu menghina Dani saat kami pacaran dulu. Dia menghinanya karena Dani adalah seorang penyandang buta warna. Hal ini sangat membuatku marah.  Pintu lift kemudian terbuka dan kami keluar, aku menuju ke ruang dosen dan dia menemui teman temanya yang sedang duduk di depan ruang dosen.

                Setelah menyerahkan tugas tersebut aku keluar dan memutuskan untuk pulang karena hari ini tidak ada kelas. Aku turun memalui tangga karena lift yang ada di tempat itu sedang penuh. Langkah demi langkah aku menuruni tangga tersebut dan kemudian aku bertemu dengan dua orang sejoli yang sedang berpacaran. Mereka bernama Mila dan Putra, dua orang sejoli tersebut melirik ke arahku dan sambil bergumam.

                Saat aku menuju ke lantai satu tiba tiba hand phone yang berada di dalam tasku berbunyi. Aku melihatnya dan ternyata ada satu pesan yang masuk.

“Apakah para korban tersebut akan kita bunuh malam ini?”

Kucoba menyalakan sebatang rokok dan menghirupnya dalam dalam sambil membalas pesan tersebut.

“Korbannya akan bertambah satu lagi. Malam ini akan kita habisi satu orang ini dulu, baru yang lainnya akan menyusul.”
***
Sore harinya setelah mandi aku duduk di atas tempat tidurku sambil berpikir tentang cara menghabisi orang tersebut. Sambil menyalakan sebatang rokok aku menggenggam senjata api. Jika aku menggunakan senjata api ini pasti akan sangat terlalu beresiko dan menarik perhatian banyak orang. Lagi pula aku ingin dia menderita dan mati secara perlahan. Mataku kemudian terpejam dan aku mencoba mengarahkan pisotol tersebut ke arah mulutku.  Entah mengapa aku melakukan ini, kemudian mataku terbuka secara perlahan sambil menangis. Ada perasaan takut yang teramat sangat saat memikirkan ini semua. Sunyi dan senjap, itulah keadaan yang menemaniku di kamar yang berukuran cukup besar ini. Setelah itu aku batuk karena tersedak asap rokok yang aku hisap, pada saat itu juga aku memiliki ide tentang bagaimana cara menghabisi orang tersebut.

Saat malam hari setelah ada kelas malam aku menuju ke kafetaria untuk mencari tugas dan sedikit bermain game. Di belakangku terlihat Anton duduk sendirian sambil menyalakan sebatang rokok dan menikmati satu botol teh. Saat itu dia sedang menunggu pacarnya yang bernama Karina. Badanku terasa gemetar sekali saat ini dan keringat dingin membasahi dahiku dan turun hingga ke pipi.

Tadi aku menyuruh seseorang untuk membantuku melakukan rencana ini. Cukup lama aku menunggu dia untuk datang ke sini. Saat aku menoleh kebelakang terlihat jika Karina sudah datang untuk menemui Anton. Dan pada saat bersamaan dari kejauhan orang yang aku tunggu akhirnya datang. Dia menggunakan jaket berwarna hitam sambil menutupi mulutnya dengan masker berwarna putih, di tangannya dia menggenggam satu gelas kopi.

Dia berjalan tanpa memandang kanan dan kiri sambil menuju ke arah Anton. Kemudian dia dengan sengaja terjatuh dan menumpahkan kopi tersebut ke baju Anton. Secara reflek Anton pun berdiri dan memaki orang tersebut. Karina kemudian membantu membersihkan bajunya.

“Kalo jalan ati ati woi!” teriak Anton kepada orang yang memakai masker tersebut.

Aku menghampiri untuk melerai pertengkaran mereka. Kucoba untuk menolong orang tersebut untuk berdiri. Saat mencoba memegang tangannya, orang tersebut kemudian bangkit dan berlari menjauhi kita. Anton dan Karina kemudian mengambil tas yang terjatuh di lantai dan pada saat yang bersamaan aku menukar bungkus rokok milik Anton yang berada di atas meja tanpa mereka ketahui. Aku kemudian kembali ke mejaku dan mematikan laptop. Raut muka Anton masih terlihat sangat marah saat aku melihatnya. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke parkiran yang ada di depan kafetaria ini.

Dari kejauhan terlihat Anton menyalakan rokoknya sambil masih mengobrol dengan ekspresi marah. Saat mencari motorku yang berada di pojok kemudian terdengar teriakan dari Karina. Dia terlihat panic saat Anton mengeluarkan darah dari hidung dan mulutnya. Aku menoleh dari kejauhan dan melihat satpam dan mahasiswa menghampiri mereka. Zat Arsenik  yang aku masukan dalam rokok tersebut akhirnya bekerja. Diantara teriakan dan tangisan terlihat Antoh tersungkur di lantai sambil mulut dan hidungnya mengeluarkan darah yang terlihat sangat menakutkan. Setelah itu aku menyalakan rokok dan menyalakan sebatang rokok milik Anton yang aku tukar tadi sambil tersenyum puas dan meninggalkan tempat ini.

Bersambung………………………..





Komentar