Secercah
cahaya mengintip dari balik kelambu jendela berwarna putih yang berada
disamping kiri kamarku. Rasanya enggan sekali untuk bangun dari selimut yang
memberi kehangatan semalam penuh ini. Aku mencari ponselku yang berada di atas
di meja yang berbentuk kotak dan melihat apakah ada pesan yang masuk. Ada beberapa
pesan tetapi balasan atas pesan yang aku
kirim kepada seseorang pada kemarin malam masih belum juga ada balasannya.
Kemudian aku memutuskan untuk menuju ke kamar mandi untuk menyegarkarkan diri
dan menghilangkan rasa ngantuk yang ada.
Setelah
beberapa menit kemudian aku berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat ke
kampusku. Hari ini aku memakai kaos hitam dan juga rok sepanjang lutut bercorak
kotak kotak berwarna merah sambil menggunakan sepatu flat berwarna hitam. Aku
mengikat rambutku yang berwarna hitam kemerahan kebelakang agar terlihat rapi.
Saat menuju ke depan kostku untuk menyalakan motor matik yang berwarna biru,
aku memutuskan untuk mengambil jaketku yang berwarna hitam karena cuaca sedang
gerimis. Jarak dari kost dan kampusku cukup dekat kira kira hanya butuh waktu
sekitar sepulu menit menggunakan sepeda motor.
Padat
dan saling berhimpitan, itulah keadaan jalan raya yang aku lewati saat menuju
ke kampusku. Hal ini dikarenakan penerapan jalur dua arah yang kembali
diterapkan oleh pemerintah. Bagaikan seekor ular aku mencari celah kosong
diantara mobil saat aku mengendarai motorku. Beberapa saat kemudian aku telah
sampai di tempat parkir fakultasku. Tulisan “Fakultas Ilmu Budaya” sungguh
menyilaukan mata saat memantulkan cahaya sang surya pagi ini.
Aku
memarkirkan sepeda motorku dan kemudian menuju ke kafetaria yang berada di
depan fakultasku. Di depan kafetaria tersebut terdapat tempat duduk berjajar
dengan rapid an dipenuhi oleh beberapa mahasiswa yang sedang asik bercengkrama
satu sama lain. Aku kemudian masuk ke dalam kafetaria yang tidak kalah penuh
sesak dengan mahasiswa dan juga dosen. Aku menuju ke salah satu stand yang
menjual minuman.
“Mau
pesen apa mbak?” tanya seorang ibu yang berada di tempat tersebut.
“Cappucino
satu bu” jawabku sambil mengambil dompet yang berwarna hitam di dalam tasku
“Panas?
Dingin?” lanjut ibu terebut
“Panas
aja bu” jawabku
“Cappucino
panas satu minum sini!” seru ibu tersebut kepada orang yang disebelahnya
“Sama
rokok itu satu deh bu”
“Yang
ini mbak?”
“Yang
sebelahnya bu”
“Semuanya
jadi lima belas ribu”
Aku
menyerahkan beberapa lembar uang kepada ibu tersebut dan kemudian mengambil
pesananku. Sambil membawa satu cangkir cappuccino panas aku mencari tempat
tempat yang kosong untuk duduk. Ada tempat kosong yang berada di sebelah ujung,
aku kemudian duduk dan menyalakan laptopku.
Saat sedang menikmati segelas cappuccino dan bermain laptop tiba tiba
handphone yang berada di samping kiriku
berbunyi. Pesan yang aku kirim akhirnya dibalas.
“Semuanya sudah siap, tinggal kita lakukan
saja rencananya”
Itulah
isi pesan yang aku terima dari orang tersebut. Saat akan membalas pesan
tersebut tiba tiba aku dikagetkan oleh orang yang menyentuh pundakku dari
belakang. Aku menoleh kebelakang dan ternyata orang tersebut adalah Dani. Dia
adalah orang yang pernah menjadi pacarku satu tahun lalu, meskipun sudah
berpisah kita masih sering mengobrol dan bertemu di tempat ini secara tidak
sengaja.
“Eh
Vika, boleh minta tolong gak” tanya Dani kepadaku sambil masih berdiri disampingku
“Apaan
emang?” jawabku
“Boleh
pinjem Flash disk gak? Buat ngeprint tugasnya Pak Lalu ini.”
“Oalah
iya bentar, tapi bentar lagi kembaliin ya, aku mau ngerjain tugas, soalnya
datanya masih ada di Flash disk itu”
jawabku sambil membuka tas
“Tenang,
Cuma bentar aja kok” jawab Dani
Saat
dia akan pergi aku kemudia memanggilnya dengan suara yang cukup keras. Dia
kemudian berhenti dan menghampiriku.
“Ada
apa Vik?” tanya dia
“Pinjem
korek dong, punyaku abis nih” jawabku
“Tak
kira apaan, nih.” sahut dia sambil mengambil korek yang ada di jaketnya yang
berwarna biru gelap.
“Hahaha
makasih ya” jawabku
Dia
pun kemudian pergi ke tempat print yang
berada di samping kafetaria ini. Di tempat tersebut terlihat antrian yang
berjajar rapi dengan ekspresi yang tak sabar menanti gilirannya. Dani pun
terlihat menggerak gerak kan kakinya saat mengantri. Pada saat yang bersamaan
aku pun menyalakan rokok yang kedua sambil melihat ke arah antrian tersebut.
Kuhisap dalam dalam hingga masuk ke paru paruku. Kemudian aku melihat seorang
temanku yang bernama Sintia, dia berjalan dengan sedikit tergesa gesa saat
menuju kepadaku.
“Aduh maaf Vik, aku bangun
kesiangan. Tugasnya terakhir di kumpul jam berapa?” tanya Sintia kepadaku
dengan nafas yang masih terengah engah.
“Tenang aja masih dua jam lagi
kok” jawabku
“Haaahhh, aku kira udah telat.
Nih tugasnya.” Tambahnya sambil menyerahkan tugas dan bungkusan kecil berwarna
biru.
Setelah itu dia pergi menuju ke
lantai lima fakultasku untuk berkonsultas masalah skripsi yang sedang dia
kerjakan. Tak lama setelah itu Dani
menghampiriku untuk menyerahkan flash
disk yang dia pinjam tadi. Kemudian aku menghabiskan cappuccino dan juga rokok yang ada di depanku sambil mematikan
laptop. Jam tanganku menujukkan pukul sembilan dan akhirnya aku memutuskan
untuk menuju ke ruang dosen untuk menyerahkan tugas.
Di dalam fakultasku dipenuhi
oleh mahasiswa yang sedang duduk lesehan di dekat lift yang berada di sebelah kananku.
Saat memasuki lift aku berpapasan dengan seseorang yang bertubuh cukup besar
dan mempunyai rambut pendek. Orang tersebut bernama Anton, dia menyeringai
dengan sinis kepadaku saat kami memasuki lift. Aku sangat membenci dia karena
dia selalu menghina Dani saat kami pacaran dulu. Dia menghinanya karena Dani
adalah seorang penyandang buta warna. Hal ini sangat membuatku marah. Pintu lift kemudian terbuka dan kami keluar,
aku menuju ke ruang dosen dan dia menemui teman temanya yang sedang duduk di
depan ruang dosen.
Setelah menyerahkan tugas
tersebut aku keluar dan memutuskan untuk pulang karena hari ini tidak ada
kelas. Aku turun memalui tangga karena lift
yang ada di tempat itu sedang penuh. Langkah demi langkah aku menuruni
tangga tersebut dan kemudian aku bertemu dengan dua orang sejoli yang sedang
berpacaran. Mereka bernama Mila dan Putra, dua orang sejoli tersebut melirik ke
arahku dan sambil bergumam.
Saat aku menuju ke lantai satu
tiba tiba hand phone yang berada di
dalam tasku berbunyi. Aku melihatnya dan ternyata ada satu pesan yang masuk.
“Apakah para korban tersebut akan kita bunuh
malam ini?”
Kucoba
menyalakan sebatang rokok dan menghirupnya dalam dalam sambil membalas pesan
tersebut.
“Korbannya akan bertambah satu lagi. Malam
ini akan kita habisi satu orang ini dulu, baru yang lainnya akan menyusul.”
***
Sore
harinya setelah mandi aku duduk di atas tempat tidurku sambil berpikir tentang
cara menghabisi orang tersebut. Sambil menyalakan sebatang rokok aku
menggenggam senjata api. Jika aku menggunakan senjata api ini pasti akan sangat
terlalu beresiko dan menarik perhatian banyak orang. Lagi pula aku ingin dia
menderita dan mati secara perlahan. Mataku kemudian terpejam dan aku mencoba mengarahkan
pisotol tersebut ke arah mulutku. Entah
mengapa aku melakukan ini, kemudian mataku terbuka secara perlahan sambil
menangis. Ada perasaan takut yang teramat sangat saat memikirkan ini semua. Sunyi
dan senjap, itulah keadaan yang menemaniku di kamar yang berukuran cukup besar
ini. Setelah itu aku batuk karena tersedak asap rokok yang aku hisap, pada saat
itu juga aku memiliki ide tentang bagaimana cara menghabisi orang tersebut.
Saat
malam hari setelah ada kelas malam aku menuju ke kafetaria untuk mencari tugas
dan sedikit bermain game. Di belakangku terlihat Anton duduk sendirian sambil
menyalakan sebatang rokok dan menikmati satu botol teh. Saat itu dia sedang
menunggu pacarnya yang bernama Karina. Badanku terasa gemetar sekali saat ini
dan keringat dingin membasahi dahiku dan turun hingga ke pipi.
Tadi
aku menyuruh seseorang untuk membantuku melakukan rencana ini. Cukup lama aku
menunggu dia untuk datang ke sini. Saat aku menoleh kebelakang terlihat jika
Karina sudah datang untuk menemui Anton. Dan pada saat bersamaan dari kejauhan
orang yang aku tunggu akhirnya datang. Dia menggunakan jaket berwarna hitam
sambil menutupi mulutnya dengan masker berwarna putih, di tangannya dia
menggenggam satu gelas kopi.
Dia
berjalan tanpa memandang kanan dan kiri sambil menuju ke arah Anton. Kemudian
dia dengan sengaja terjatuh dan menumpahkan kopi tersebut ke baju Anton. Secara
reflek Anton pun berdiri dan memaki orang tersebut. Karina kemudian membantu
membersihkan bajunya.
“Kalo
jalan ati ati woi!” teriak Anton kepada orang yang memakai masker tersebut.
Aku
menghampiri untuk melerai pertengkaran mereka. Kucoba untuk menolong orang
tersebut untuk berdiri. Saat mencoba memegang tangannya, orang tersebut
kemudian bangkit dan berlari menjauhi kita. Anton dan Karina kemudian mengambil
tas yang terjatuh di lantai dan pada saat yang bersamaan aku menukar bungkus
rokok milik Anton yang berada di atas meja tanpa mereka ketahui. Aku kemudian kembali
ke mejaku dan mematikan laptop. Raut muka Anton masih terlihat sangat marah saat
aku melihatnya. Kemudian aku memutuskan untuk pergi ke parkiran yang ada di
depan kafetaria ini.
Dari
kejauhan terlihat Anton menyalakan rokoknya sambil masih mengobrol dengan ekspresi
marah. Saat mencari motorku yang berada di pojok kemudian terdengar teriakan
dari Karina. Dia terlihat panic saat Anton mengeluarkan darah dari hidung dan
mulutnya. Aku menoleh dari kejauhan dan melihat satpam dan mahasiswa
menghampiri mereka. Zat Arsenik yang aku masukan dalam rokok tersebut akhirnya
bekerja. Diantara teriakan dan tangisan terlihat Antoh tersungkur di lantai
sambil mulut dan hidungnya mengeluarkan darah yang terlihat sangat menakutkan.
Setelah itu aku menyalakan rokok dan menyalakan sebatang rokok milik Anton yang
aku tukar tadi sambil tersenyum puas dan meninggalkan tempat ini.
Bersambung………………………..
Komentar
Posting Komentar